Kepentingan merupakan dasar dari timbulnya tingkah laku individu. Individu bertingkah laku karena adanya dorongan untuk memenuhi kepentingannya. Kepentingan ini sifatnya esensial bagi kelangsungan hidup individu itu sendiri, jika individu berhasil memenuhi kepentingannya, maka ia akan merasakan kepuasan dan sebaliknya kegagalan dalam memenuhi kepentingan akan menimbilkan masalah baik bagi dirinya maupun bagi lingkungannya.
Dengan berpegang prinsip bahwa tingkah laku individu merupakan cara atau alat dalam memenuhi kebutuhannya, maka kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat pada hakikatnya merupakan kepuasan pemenuhan dari kepentingan tersebut.
Oleh karena individu mengandung arti bahwa tidak ada dua orang yang sama persis dalam aspek-aspek pribadinya, baik jasmani maupun rohani, maka dengan sendirinya timbul perbedaan individu dalam hal kepentingannya. Perbedaan kepentingan itu antara lain berupa :
- kepentingan individu untuk memperoleh kasih sayang
- kepentingan individu untuk memperoleh harga diri
- kepentingan individu untuk memperoleh penghargaan yang sama
- kepentingan individu untuk memperoleh prestasi dan posisi
- kepentingan individu untuk dibutuhkan orang lain
- kepentingan individu untuk memperoleh kedudukan di dalam kelompoknya
- kepentingan individu untuk memperoleh rasa aman dan perlindungan diri
- kepentingan individu untuk memperoleh kemerdekaan diri
Kenyataan-kenyataan seperti itu menunjukkan ketidakmampuan suatu ideologi mewujudkan idealisme yang akhirnya akan melahirkan kondisi disintegrasi atau konflik. Permasalahan utama dalam tinjauan konflik ini adalah adanya jarak yang terlalu besar antara harapan dengan kenyataan pelaksanaan dan hasilnya kenyataan itu disebabkan oleh sudut pandang yang berbeda antara pemerintah atau penguasa sebagai pemegang kendali ideologi dengan berbagai kelompok kepentingan sebagai sub-sub ideologi.
Perbedaan kepentingan ini tidak secara langsung menyebabkan terjadinya konflik tetapi mengenal beberapa fase yaitu:
1. fase disorganisasi yang terjadi karena kesalahpahaman.
2. fase dis-integrasi yaitu pernyataan tidak setuju.
fase dis-integrasi ini memiliki tahapan (Menurut Walter W. Martin dkk):
- ketidaksepahaman anggota kelompok tentang tujuan yang dicapai.
- norma sosial tidak membantu dalam mencapai tujuan yang disepakati.
- norma yang telah dihayati bertentangan satu sama lain.
- sanksi sudah menjadi lemah
- tindakan anggota masyarakat sudah bertentangan dengan norma kelompok.
STUDY KASUS
Masalah Pendidikan Dipedalaman
JAKARTA - Berbagai persoalan pendidikan seperti minimnya sarana dan prasarana pendidikan serta kelangkaan tenaga pengajar menggugah empat mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) yang tergabung dalam Tim Wolfgang mencari solusinya.
Mereka adalah mahasiswa Teknik Elektro Ferro Ferizka, mahasiswa Ekonomi Manajemen Iqbal Satrio Nindito, mahasiswa Ilmu Komputer Riza Oktavian, dan mahasiswa Ilmu Komputer Gathot Fajar menciptakan sebuah aplikasi sebagai solusi minimnya penyelenggaraan pendidikan di pedalaman Indonesia.
Aplikasi pembelajaran ini diberi nama Multiuser Interactive Multitouch Box (Mimbo). Mimbo mampu menembus batasan ruang, waktu, dan bahasa untuk mentransfer ilmu. Mimbo mengantarkan Tim Wolfgang meraih juara III dalam kompetisi Imageni Cup
2010 beberapa waktu lalu di Jakarta.
Seperti dikutip dari situs UGM di Jakarta, Jumat (4/6/2010), Mimbo terdiri atas dua aplikasi yang saling berhubungan, yaitu aplikasi untuk siswa dan aplikasi untuk pengajar dan komunitas. Ketua Tim Ferrizo menjelaskan, aplikasi untuk siswa berupa komputer dengan menggunakan teknologi layar sentuh multipoint, yang dapat digunakan oleh empat siswa secara bersamaan.
"Mimbo memiliki fitur-fitur yang menarik, misalnya streaming class dan global consulting room yang dilengkapi dengan translated chat. Dengan adanya streaming class, dimungkinkan terlaksananya kegiatan belajar mengajar secara virtual menembus ruang dan waktu," jelas Ferrizo.
Aplikasi ini dikembangkan guna mengatasi masalah kelangkaan sekolah di pedalaman yang mengharuskan para siswa menempuh jarak yang jauh sehingga menyebabkan siswa datang terlambat. "Ketika ada yang terlambat, guru jadi mengulang kembali sehingga kegiatan belajar mengajar menjadi tidak efektif," tambahnya.
Fasilitas translated chat pada global consulting room secara otomatis menerjemahkan bahasa yang digunakan dalam konsultasi. Fitur ini mempermudah siswa yang ingin berkonsultasi dengan guru di seluruh belahan dunia tanpa ada halangan bahasa.
Di samping membantu kelancaran transfer pengetahuan, Mimbo juga mampu menghemat anggaran pendidikan. "Pengimplementasian aplikasi ini mampu menghemat 40 persen biaya pendirian sekolah yang kurang lebih berkisar Rp800 juta," tambah Iqbal.
Mereka adalah mahasiswa Teknik Elektro Ferro Ferizka, mahasiswa Ekonomi Manajemen Iqbal Satrio Nindito, mahasiswa Ilmu Komputer Riza Oktavian, dan mahasiswa Ilmu Komputer Gathot Fajar menciptakan sebuah aplikasi sebagai solusi minimnya penyelenggaraan pendidikan di pedalaman Indonesia.
Aplikasi pembelajaran ini diberi nama Multiuser Interactive Multitouch Box (Mimbo). Mimbo mampu menembus batasan ruang, waktu, dan bahasa untuk mentransfer ilmu. Mimbo mengantarkan Tim Wolfgang meraih juara III dalam kompetisi Imageni Cup
2010 beberapa waktu lalu di Jakarta.
Seperti dikutip dari situs UGM di Jakarta, Jumat (4/6/2010), Mimbo terdiri atas dua aplikasi yang saling berhubungan, yaitu aplikasi untuk siswa dan aplikasi untuk pengajar dan komunitas. Ketua Tim Ferrizo menjelaskan, aplikasi untuk siswa berupa komputer dengan menggunakan teknologi layar sentuh multipoint, yang dapat digunakan oleh empat siswa secara bersamaan.
"Mimbo memiliki fitur-fitur yang menarik, misalnya streaming class dan global consulting room yang dilengkapi dengan translated chat. Dengan adanya streaming class, dimungkinkan terlaksananya kegiatan belajar mengajar secara virtual menembus ruang dan waktu," jelas Ferrizo.
Aplikasi ini dikembangkan guna mengatasi masalah kelangkaan sekolah di pedalaman yang mengharuskan para siswa menempuh jarak yang jauh sehingga menyebabkan siswa datang terlambat. "Ketika ada yang terlambat, guru jadi mengulang kembali sehingga kegiatan belajar mengajar menjadi tidak efektif," tambahnya.
Fasilitas translated chat pada global consulting room secara otomatis menerjemahkan bahasa yang digunakan dalam konsultasi. Fitur ini mempermudah siswa yang ingin berkonsultasi dengan guru di seluruh belahan dunia tanpa ada halangan bahasa.
Di samping membantu kelancaran transfer pengetahuan, Mimbo juga mampu menghemat anggaran pendidikan. "Pengimplementasian aplikasi ini mampu menghemat 40 persen biaya pendirian sekolah yang kurang lebih berkisar Rp800 juta," tambah Iqbal.
OPINI
Dara pengertian di atas bahwa setiap manusia memiliki kepentingan masing - masing, ada kepentingan untuk hidup dan lain sebagainya, kepentingan untuk mendapatkan pendidikan terutama bagi daerah pedalaman yang sangat minim dalam prosesnya
dari study kasus yang telah saya ambil, membantu kita memberi solusi bagaimana cara kita mengatasi masalah pendidikan di daerah pedalaman seperti di kampung - kampung
maka dari itu kita yang di berikan pendidikan dan fasilitas yang baik harus di gunakan dengan baik pula.
SUMBER
http://wikipedia.com/PERBEDAAN KEPENTINGAN
2. Menjelaskan tentang Diskriminasi dan Etnosentris
DISKRIMINASI.
Diskriminasi secara leksikal adalah perlakuan terhadap orang atau kelompok yang didasarkan pada golongan atau kategori tertentu. Sementara itu dalam pengertian lain diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan didasarkan pada gender,ras, agama,umur, atau karakteritik yang lain. Dari kedua definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa inti dari diskriminasi adalah perlakuan berbeda. Sedangkan pengertian diskriminasi terhadap penyandang cacat atau difabel lebih didasarkan pada kondisi fisik atau kecacatan yang disandangnya. Masyarakat selama ini memperlakukan para difabel secara berbeda lebih didasarkan pada asumsi atau prasangka bahwa dengan kondisi difabel yang kita miliki, kita dianggap tidak mampu melakukan aktifitas sebagaimana orang lain pada umumnya. Perlakuan diskriminasi semacam ini dapat dilihat secara jelas dalam bidang lapangan pekerjaan. Para penyedia lapangan pekerjaan kebanyakan enggan untuk menerima seorang penyandang cacat sebagai karyawan. Mereka berasumsi bahwa seorang penyandang cacat tidak akan mampu melakukan pekerjaan seefektif seperti karyawan lain yang bukan difabel. Sehingga bagi para penyedia lapangan kerja, mempekerjakan para difabel sama artinya dengan mendorong perusahaan dalam jurang kebangkrutan karena harus menyediakan beberapa alat bantu bagi kemudahan para difabel dalam melakukan aktifitasnya.
Kembali lagi pada tujuan awal diskusi kita,terhadap pertanyaan, apakah diskriminasi terhadap penyandang cacat merupakan sebuah realitas ataukan hanya perasaan subyektif penyandang cacat sendiri? Untuk menjawabnya, saya akan coba untuk mengambil salah satu contoh dalam kehidupan sosial yang dapat dikatakan sebagai perlakuan diskriminatif terhadap difabel. Kita masih sering membaca dalam pengumuman penerimaan calon pegawai atau karyawan salah satu poin yang mensyaratkan bahwa pelamar harus sehat jasmani dan rohani. Biasanya persyaratan tersebut tertulis tanpa penjelasan, sehingga maknanyapun sangat umum. Arti sehat jasmani dapat dimaknai bahwa selain seseorang tidak memiliki kekurangan fisik, dia juga terbebas dari segala penyakit seperti penyakit ginjal, kanker, atau penyakit lainnya. Sedangkan sehat rohani dapat juga diartikan bukan hanya sehat secara mental (psikis) namun juga sehat secara moral. Namun kebanyakan kedua istilah sehat jasmani maupun rohani lebih merujuk pada kondisi difabel seseorang.
Seseoarang akan dengan langsung ditolak menjadi pelamar kerja jika nyata-nyata dia buta, tuli, bisu, atau pincang. Namun tidak bagi mereka yang mengidap penyakit kencing manis, radang paru, atau penyakit sejenis yang tidak nyata kelihatan. Hal ini akan menjadi aneh ketika kedua persyaratan tersebut digeneralisasikan untuk semua jenis pekerjaan. Padahal tidak semua pekerjaan membutuhkan persyaratan fisik. Untuk sekedar mengetik surat, tentu tidak dibutuhkan bahwa seseorang harus bisa bicara ataupun mendengar bahkan berjalan dengan benar. Namun persyaratan sehat jasmani tersebut telah menggugurkan cita-cita sekian ribu saudara kita yang ingin mendapatkan pekerjaan layak sebagaimana warga negara yang lain.
Fakta lain yang dapat dijadikan contoh adalah tentang keberadan fasilitas umum di sekitar kita. Fasilitas umum seperti transportasi umum, bangunan umum seperti, kantor bank, rumah sakit, puskesmas, sekolah, kampus, dan sebagainaya. Kebanyakan dari fasilitas umum di Indonesia dibangun dengan tanpa memperhitungkan keberadan para penyandang cacat. Penyandang cacat sebagaimana anggota warga negara yang lain tentunya memiliki hak yang sama untuk menikmati fasilitas yang dibangun oleh pemerintahnya. Mengesampingkan keberadaan mereka berarti juga telah memperlakukan kelompok para penyandang cacat secara diskriminatif.
ETNOSENTRIS
STUDY KASUS
dari study kasus di atas dapat dilihat bahwa kebudayaan kita ini sudah terpecah, sekarang lebih banyak budaya dalam negeri kita ini terjerumus oleh budaya - budaya luar
seharusnya kita sebagai masyarakat yang baik harus bisa mencegah dalam perpecahan kebudayaan di negara kita, kita boleh saja meniru budaya orang atau negara lain tapi tidak menghilangkan budaya kita sendiri dan tetap percaya dengan kebudayaan yang sudah di jalani nenek moyang kita di Indonesia .
Kembali lagi pada tujuan awal diskusi kita,terhadap pertanyaan, apakah diskriminasi terhadap penyandang cacat merupakan sebuah realitas ataukan hanya perasaan subyektif penyandang cacat sendiri? Untuk menjawabnya, saya akan coba untuk mengambil salah satu contoh dalam kehidupan sosial yang dapat dikatakan sebagai perlakuan diskriminatif terhadap difabel. Kita masih sering membaca dalam pengumuman penerimaan calon pegawai atau karyawan salah satu poin yang mensyaratkan bahwa pelamar harus sehat jasmani dan rohani. Biasanya persyaratan tersebut tertulis tanpa penjelasan, sehingga maknanyapun sangat umum. Arti sehat jasmani dapat dimaknai bahwa selain seseorang tidak memiliki kekurangan fisik, dia juga terbebas dari segala penyakit seperti penyakit ginjal, kanker, atau penyakit lainnya. Sedangkan sehat rohani dapat juga diartikan bukan hanya sehat secara mental (psikis) namun juga sehat secara moral. Namun kebanyakan kedua istilah sehat jasmani maupun rohani lebih merujuk pada kondisi difabel seseorang.
Seseoarang akan dengan langsung ditolak menjadi pelamar kerja jika nyata-nyata dia buta, tuli, bisu, atau pincang. Namun tidak bagi mereka yang mengidap penyakit kencing manis, radang paru, atau penyakit sejenis yang tidak nyata kelihatan. Hal ini akan menjadi aneh ketika kedua persyaratan tersebut digeneralisasikan untuk semua jenis pekerjaan. Padahal tidak semua pekerjaan membutuhkan persyaratan fisik. Untuk sekedar mengetik surat, tentu tidak dibutuhkan bahwa seseorang harus bisa bicara ataupun mendengar bahkan berjalan dengan benar. Namun persyaratan sehat jasmani tersebut telah menggugurkan cita-cita sekian ribu saudara kita yang ingin mendapatkan pekerjaan layak sebagaimana warga negara yang lain.
Fakta lain yang dapat dijadikan contoh adalah tentang keberadan fasilitas umum di sekitar kita. Fasilitas umum seperti transportasi umum, bangunan umum seperti, kantor bank, rumah sakit, puskesmas, sekolah, kampus, dan sebagainaya. Kebanyakan dari fasilitas umum di Indonesia dibangun dengan tanpa memperhitungkan keberadan para penyandang cacat. Penyandang cacat sebagaimana anggota warga negara yang lain tentunya memiliki hak yang sama untuk menikmati fasilitas yang dibangun oleh pemerintahnya. Mengesampingkan keberadaan mereka berarti juga telah memperlakukan kelompok para penyandang cacat secara diskriminatif.
ETNOSENTRIS
William Graham Sumner menilai bahwa masyarakat tetap memiliki sifat heterogen ( pengikut aliran evolusi).
Menurut Sumner (1906), manusia pada dasarnya seorang yang individualis yang cenderung mengikuti naluri biologis mementingkan diri sendiri sehingga menghasilkan hubungan di antara manusia yang bersifat antagonistic (pertentangan yang menceraiberaikan). Agar pertentangan dapat dicegah maka perlu adanya folkways yang bersumber pada pola-pola tertentu.
Pola-pola itu merupakan kebiasaan (habits), lama-kelamaan, menjadi adat istiadat (customs), kemudian menjadi norma-norma susila (mores), akhirnya menjadi hukum (laws). Kerjasama antarindividu dalam masyarakat pada umumnya bersifat antagonictic cooperation (kerjasama antarpihak yang berprinsip pertentangan). Akibatnya, manusia mementingkan kelompok dan dirinya atau orang lain. Lahirlah rasa ingroups atau we groups yang berlawanan dengan rasa outgroups atau they groups yang bermuara pada sikap etnosentris.
Sumner dalam Veeger (1990) sendiri yang memberikan istilah etnosentris. Dengan sikap itu, maka setiap kelompok merasa folkwaysnya yang paling unggul dan benar. Seperti yang dikutip oleh LeVine, dkk (1972), teori etnosentrisme Sumner mempunyai tiga segi, yaitu: (1) sejumlah masyarakat memiliki sejumlah ciri kehidupan sosial yang dapat dihipotesiskan sebagai sindrom, (2) sindrom-sindrom etnosentrisme secara fungsional berhubungan dengan susunan dan keberadaan kelompok serta persaingan antarkelompok, dan (3) adanya generalisasi bahwa semua kelompok menunjukkan sindrom tersebut. Ia menyebutkan sindrom itu seperti: kelompok intra yang aman (ingroups) sementara kelompok lain (outgroups) diremehkan atau malah tidak aman.
Zatrow (1989) menyebutkan bahwa setiap kelompok etnik memiliki keterikatan etnik yang tinggi melalui sikap etnosentrisme. Etnosentrisme merupakan suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang absolute dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain. Sehingga etnosentrisme memunculkan sikap prasangka dan streotip negatif terhadap etnik atau kelompok lain.
Komunikasi antarbudaya dapat dijelaskan dengan teori etnosentrisme seperti diungkapkan oleh Samovar dan Porter (1976). Katanya, ada banyak variable yang mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbuadaya, salah satunya adalah sikap. Sikap mempengaruhi komunikasi antarbuadaya, misalnya terlihat dalam etnosentrisme , pandangan hidup , nilai-nilai yang absolute, prasangka, dan streotip
STUDY KASUS
Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia memiliki potensi untuk terjadinya perpecahan. Hal ini terjadi karena adanya sikap etnosenris dan memandang kelompok lain dengan ukuran yang sama-sekali tidak ada konsesus atasnya. Terdapat lebih dari 200 suku dan 300 bahasa. Sehingga Indonesia adalah negara yang sangat kaya ada-istiadat. Namun, kekayaan itu akan menjadi lumpuh ketika perbedaan di antaranya tidak diperkuat oleh sikap nasionalisme. Hal bisa dilhat dari banyaknya konflik antaretnis di tahun 1990-an. Seperti tragedi Sampit, antar suku Madura dan Dayak. Dimana terdapat kecemburuan ekonomi anatar Madura sebagai pendatang dan Dayak sebagai penduduk asli. Tragedi Pos, Ambon, dan Perang adat di Papua.
Sebagai contoh di Papua. Seperti yang diberitakan Kompas Juli 2002, ada 312 suku yang menghuni Papua. Suku-suku ini merupakan penjabaran dari suku-suku asli yaitu Dani, Mee, Paniai, Amungme, Kamoro, biak, Ansus, Waropen, Bauzi, Asmat, Sentani, Nafri, Meyakh, Amaru, dan Iha. Setiap suku memiliki bahasa daerah (bahasa ibu) yang berbeda. Sehingga saat ini tedapat 312 bahasa di sana.
Tempat-tempat pemukiman suku-suku di Papua terbagi secara tradisional dengan corak kehidupan sosial ekonomi dan budaya sendiri. Suku-suku yang mendiami pantai, gunung, dan hutan memiliki karakteristik kebudayaan dan kebiasaan berbeda.. Hal ini pula berimbas pada nilai, norma, ukuran, agama, dan cara hidup yang beranekaragam pula.
Keanekaragaman ini sering memicu konflik antarsuku. Misalnya yang terjadi pada tahun 2001, dimana terdapat perang adat antara suku Asmat dan Dani. Masing-masing-masing-masing suku merasa sukunyalah yang paling benar dan harus dihormati. Perang adat berlangsung bertahun-tahun. Karena sebelum adanya salah satu pihak yang kalah atau semkain kuat danmelebihi pihak yang lain, maka perang pun tidak akan pernah berakhir.
Fenomena yang sama juga banyak terjadi di kota-kota besar misalnya Yogyakarta. Sebagai kota multiultur, banyak sekali pendatang dari penjuru nusantara dengan latarbelakang kebudayaan yang berbeda Masig-masing-masing membawa kepentingan dan nilai dari daerah masing-masing. Kekhawatiran yang keudan muncul adalah adalnya sentiment primordial dan etnosentris. Misalnya mahasiswayang berasal dari Medan (suku Batak) akan selalu berkras pada pendirian dan sikap yang menyebut dirinya sebagai orang yang tegas, berpendirian, dan kasar (kasar dalam artian tegas). Sedangkan Melayu dikatakan pemalu, relijius, dan merasa lebih bisa diterima di mana pun berada. Sedangkan Jawa, akibat pengaruh orde baru, menganggap dirinya paling maju dari daerah lain. Sehingga ketika berhubungan dengan orang luar Jawa, maka stigma yang terbentuk adalah stigma negatif seperti malas, kasar, dan pemberontak.
OPINI dari study kasus di atas dapat dilihat bahwa kebudayaan kita ini sudah terpecah, sekarang lebih banyak budaya dalam negeri kita ini terjerumus oleh budaya - budaya luar
seharusnya kita sebagai masyarakat yang baik harus bisa mencegah dalam perpecahan kebudayaan di negara kita, kita boleh saja meniru budaya orang atau negara lain tapi tidak menghilangkan budaya kita sendiri dan tetap percaya dengan kebudayaan yang sudah di jalani nenek moyang kita di Indonesia .
SUMBER
http://cakfu.info/2006/09/diskriminasi-perasaan-atau-realitas/
Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication. USA: Wadsworth GroupMiller, Katherine. (2002). Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts. USA: McGraw HillMulyana, Deddy. (2003). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
0 komentar:
Posting Komentar